Manokwari, doberainews – Panitia Pemilihan (Panpil) Calon Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Barat diminta memprioritaskan anak – anak asli Papua dari wilayah adat Doberai dan Bomberai dalam seleksi calon Anggota Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat.
Kordinator Koalisi Merah Putih, Leo Tuturop menerangkan Tanah Papua telah dibagi dalam 7 wilayah adat yakni Tabi, Saireri, Mee Pago, La Pago, Doberai, Bomberai, dan Ha Anim.
“Tanah Papua adalah satu kesatuan, namun dalam seleksi MRP ini, mari kita saling menghargai untuk memberikan kesempatan kepada anak – anak asli di wilayah adat Doberai dan Bomberai untuk duduk sebagai Majelis Rakyat Papua di Provinsi Papua Barat,” Kata Leo Tuturop saat diwawancarai media ini, Jumat (26/5/2023)
Leo lalu menyoroti Panitia Pemilihan Calon Anggota MRPB perwakilan unsur Agama. Menurutnya, berdasarkan Perdasi nomor 8 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pemilihan Calon Anggota Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat secara jelas mengatur tahapan, mekanisme, kuota keterwakilan unsur agama, adat dan perempuan.
Sesuai dengan Perdasi bahwa seleksi calon Anggota MRPB unsur agama dilakukan di tingkat Provinsi dengan kuota per agama yakni Islam 2 orang, Katolik 2 orang, Kristen GKI 3 orang, Kristen GPKAI 2 orang, Gereja Kristen Pentakosta 1 orang dan Gereja Bethel Indonesia 1 orang dengan ketentuan apabila tidak ada orang Papua dari wilayah adat Doberai dan Bomberai barulah diberikan kesempatan kepada anak – anak adat dari wilayah adat lain di tanah Papua yang berdomisili di Papua Barat.
“Yang kami Koalisi pertanyakan ialah kenapa salah satu anak asli Bomberai dari Fakfak yang telah mendapat rekomendasi dari Sinode GKI untuk ikut seleksi, namun tidak lolos. Kami pertanyakan alasannya, sebab kami lihat ada beberapa nama dari luar wilayah adat Doberai dan Bomberai yang diloloskan”kata Leo.
Harusnya diprioritaskan dulu calon dari wilayah adat Doberai dan Bomberai, kalau sudah tidak ada yang memenuhi syarat, barulah diberikan kesempatan kepada saudara – saudara dari wilayah adat lainnya di Tanah Papua,”sambungnya.
Leo menambahkan atas kejanggalan tersebut, Koalisi Merah Putih yang terdiri dari Organisasi Kemasyarakatan Barisan Merah Putih (BMP), Garda Merah Putih (GMP), Laskar Merah Putih (LMP), Gerakan Merah Putih, Parlemen Jalanan Papua Barat dan LMA Papua Barat menyayangkan kinerja Panitia Pemilihan baik di tingkat Kabupaten maupun di tingkat Provinsi.
“Kami kuatir kan kebijakan Panitia pemilihan yang tidak sesuai dengan Perdasi nomor 8 Tahun 2022 dapat berpotensi hukum di kemudian hari. Kami kuatir jika Bapak Gubernur menetapkan nama – nama Calon Anggota MRPB periode 2023 – 2028 maka ada gugatan hukum yang dilayangkan,” tukasnya.
Senada, Panglima Parlemen Jalanan Papua Barat, Ronald Mambieuw mengungkap Parjal minta semua anak – anak adat di Provinsi Papua Barat untuk saling menghargai. Menurutnya, berdasarkan aturan, seleksi Anggota MRPB unsur agama dilakukan di tingkat Provinsi dengan memperhatikan didominasi agama yang ada.
“Untuk unsur agama, mari kita berikan kesempatan kepada lembaga agama masing – masing. Mereka yang akan mengusulkan utusannya. Memang saya lihat kuota agama sudah baik, hanya dari perwakilan gereja Pentakosta yang sedikit tarik menarik. Kami harapkan mari kita cari solusi terbaik dengan memberikan kesempatan kepada anak – anak dari wilayah adat Doberai dan Bomberai, kalau sudah tidak ada barulah diambil dari wilayah adat lainnya,”kata Ronald.
Selain itu, Ronald mengungkap ada beberapa Kabupaten di Papua Barat yang melaksanakan tahapan perekrutan calon MRPB tidak sesuai mekanisme yang tertera dalam Perdasi Nomor 8 Tahun 2022.
Sesuai mekanisme, masing – masing distrik baik unsur adat maupun unsur perempuan harus mengutus perwakilan 2 orang untuk mengikuti musyawarah di tingkat Kabupaten. Namun fakta yang terjadi, beberapa kabupaten melangkahi mekanisme tersebut.
Kedua, lanjut Ronald ada pengaduan dari Lembaga Perkumpulan Perempuan Arfak di Kabupaten Manokwari Selatan terkait utusan mereka yang tidak diakomodir dalam musyawarah seleksi di tingkat Kabupaten.
Parahnya, ada perwakilan perempuan yang bukan berasal dari wilayah adat setempat, karana itu kami harapkan bagian ini harus dievaluasi sehingga tidak menimbulkan dampak potensi hukum di kemudian hari,” ungkap Ronald.
Kami harapkan Bapak Gubernur sebagai pengambil kebijakan dan keputusan di daerah dapat mempertimbangkan bagian ini agar tidak menjadi masalah gugat menggugat di kemudian hari sama seperti MRPB periode 2017 – 2023″tandasnya. (Red/DN).