Artikel ini ditulis oleh Maria Rana Induwek, Taruna Utama Politeknik Ilmu Pemasyarakatan Banten.
Banten, doberainews – Dari berbagai sumber – sumber berita menyebutkan bahwa masalah pelarian narapidana atau warga binaan dan berbagai masalah yang kerap terjadi di lapas kelas II B Manokwari merupakan dampak langsung dari daya dukung Lapas yang sudah over kapasitas serta kurangnya penanganan yang maksimal dikarenakan minimnya SDM di lapas tersebut.
Karena itu, kasus pelarian warga binaan di lapas Kelas II B Manokwari kerap kali terjadi. Berdasarkan berita yang dipublikasikan oleh media online Compas.com pada 22 Juli 2019 menyebutkan bahwa Enam narapidana Lapas Kelas II B Manokwari kabur dari Lapas, sekitar pukul 17.30 WIT. Keenamnya merupakan residivis kasus narkoba dan kasus tindak pidana umum.
Kasus tersebut terjadi lagi pada tahun 2020. Dan larinya Narapidana/warga binaan tersebut berhasil ditangkap oleh tim pada pada tahun 2021. Dari sumber berita Merdeka.com yang dirilis pada 11 Agustus 2021, menyebutkan bahwa narapidana Lapas Kelas II B Manokwari yang kabur ditangkap petugas di jalan Yos Sudarso Sanggeng Manokwari Barat sempat diwarnai protes warga yang berujung aksi blokade jalan.
Tak hanya itu, Kejadian kaburnya tahanan di lapas juga terjadi lagi di tahun 2022. Dalam berita yang dirilis oleh Tribunnews Papua.com pada 10 Oktober 2022 menyebut, salah satu Tahanan Kejaksaan yang dititip di Lembaga Pemasyarakatan Manokwari berhasil Kabur dari Lapas.
Kaburnya tahanan tersebut mendapat tanggapan dari Kepala Divisi Pemasyarakatan pada Kemenkumham Papua Barat, Dannie Firmansyah. Ia mengatakan bahwa kaburnya Tahanan karena kondisi bangunan Lapas yang sudah tua dan daya tampung Lapas yang sudah over kapasitas.
Dalam keterangan resminya, ia mengungkap sesuai kapasitas, seharusnya Lapas Kelas IIB Manokwari memiliki daya tampung sebanyak 86 warga binaan. Namun, jumlah Narapidana di Lapas tersebut sudah melebihi daya tampung yaitu sebanyak 375 warga binaan.
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan aturan standar keamanan Lapas, yakni satu orang petugas bertanggung jawab menjaga/mengawasi 2O orang warga binaan, sehinggah darurat keamanan kerap terjadi dikarenakan dalam satu regu jaga(piket) yang terdiri dari lima orang personel justru bertanggung jawab menjaga hampir 400 -an orang.
Warga binaan 400-an orang ini terdiri dari 89 orang tahanan dan 311 orang narapidana. Dari kapasitas daya tampung Lapas Manokwari ini sudah sangat tidak lagi memadai untuk bisa menampung warga binaan yang jumlah terus-menerus bertambah. Sehingga kondisi ini sangat rawan jika dibiarkan, membutuhkan lahan baru untuk pembangunan Lapas yang lebih memadai,”, tuturnya seperti dihimpun dari sumber media.
Kelebihan kapasitas ini membuat warga binaan di Lapas Manokwari juga berpotensi menimbulkan masalah keamanan. Baik masalah keamanan antara petugas Sipir dan warga binaan maupun masalah kesalahpahaman antar warga binaan.
Dari sumber – sumber informasi dan keterangan yang diterima, menyebut bahwa masalah – masalah sosial kerap terjadi dalam lembaga pemasyarakatan kelas IIB Manokwari dikarenakan kondisi Lapas yang sudah Overkapasitas. Disisi lain, dengan kondisi yang sudah Over tersebut, berdampak pada upaya pembinaan yang kurang maksimal dilakukan oleh petugas Lapas.
Untuk menangani masalah tersebut, pihak Lapas Manokwari dibawa Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kanwil Hukum dan HAM Papua Barat mengambil langkah untuk memindahkan beberapa Narapidana ke lapas – lapas terdekat untuk mendapat pembinaan disana, baik di Lapas Kabupaten Teluk Bintuni maupun lapas lainnya.
Dari keterangan – keterangan diatas dapat disimpulkan beberapa penyebab pemicu kaburnya warga binaan dari Lapas Kelas II Manokwari, diantaranya, seperti tindakan yang tidak manusiawi, program pembinaan tidak berjalan optimal dan sifat ingin bebas sehingga memancing petugas. Dari permasalahan ini perlu penanganan khusus bagi warga binaan, hal ini menjadi salah satu perhatian serius yang harus dipikirkan bersama oleh para stakeholder baik Kanwil kemenkumham Papua Barat maupun oleh para Forkompinda di daerah.
Secara internal, pihak Lapas harus bisa meminimalisir masalah-masalah yang membuat narapidana berpikir kabur atau memberontak. Walaupun fasilitas atau kebutuhan narapidana di dalam Lapas telah terpenuhi, namun tak seorang pun ingin tinggal di ruang tahanan yang sempit dan melebihi daya tampung yang berdampak pada kesehatan warga binaan. Disisi lain naluri kemanusiaan untuk ingin bebas akan mendorong mereka untuk mencari cara melarikan diri dari lembaga pemasyarakatan jika tidak dijaga secara ketat oleh petugas.
Dengan kondisi ini, saran saya, petugas pemasyarakatan tetap bekerja dengan hati yang didasarkan pada asas dan aturan-aturan, baik peraturan perundangan – undangan sebagai landasan konstitusional dan prinsip Pemasyarakatan.
Minimal setiap petugas memahami 10 prinsip Pemasyarakatan sebagai landasan prinsipal untuk membina, mendidik, dan mengedukasi warga binaan untuk dapat terintegrasi kembali dengan masyarakat, agar para Warga Binaan menyesali perbuatannya, dan mau merubah hidup untuk menjadi pribadi warga negara yang baik dan berguna di kemudian hari.