Manokwari, doberainews – Salah satu Kader Partai Demokrat di Provinsi Papua Barat menolak penggunaan sistem proporsional tertutup dalam Pemilu 2024 mendatang.
Hal itu ditegaskan oleh Sri Wijiati Rumfabe, melalui rilis kepada media ini, Senin (5/6/203). Sri Wijiati berpendapat pemilu dengan metode proporsional terbuka saat ini merupakan sistem paling ideal di Indonesia. Pasalnya caleg bersentuhan dan bertanggung jawab langsung dengan masyarakat atau pemilihnya.
“Model pemilu saat ini paling ideal, karena rakyat yang menentukan caleg nya bukan partai yang tentukan,”kata Sri Wijiati atau sering disapa Bunda Atik, Bakal Calon DPRD Dapil I Papua Barat nomor urut 3 dari Partai Demokrat.
Namun, lanjut Atik jika Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup maka akan terjadi gelombang protes besar – beseran dari masyarakat di Indonesia, pasalnya sistem proporsional tertutup akan mengebiri hak konstitusional rakyat untuk menentukan para wakilnya di parlemen.
Konsekuensi yang akan terjadi jika MK menyetujui proporsional tertutup, yakni;
Pertama, kata Atik akan terjadi protes besar – besar yang dilakukan oleh para caleg di seluruh Indonesia terutama para caleg yang berada pada nomor urut besar.
Kedua, konsekuensi lainya para caleg akan bekerja setengah hati atau tidak totalitas untuk mendulang suara rakyat terutama mereka yang berada di nomor urut besar.
Ketiga, para caleg yang merasa berada di nomor urut besar akan memilih untuk mundur alias tidak bersedia maju walaupun sudah ditetapkan sebagai caleg.
Keempat, dampak yang akan dirasakan secara langsung ialah partisipasi dan kepercayaan masyarakat saat ini akan merosot terhadap partai politik. Apalagi saat ini banyak Partai Politik yang terlibat kasus Korupsi,”tambahnya.
Disisi lain, dampak yang dikuatirkan ialah sistem proporsional tertutup akan memicu terjadinya praktik – praktik kolusi, korupsi dan nepotisme dalam lingkaran Partai.
Jika proporsional tertutup yang digunakan maka mereka yang akan ditentukan sebagai DPR atau DPRD adalah orang – orang dekat pimpinan partai. Orang – orang punya modal, karena mereka akan menggunakan uang (Sogok) pimpinan partai agar ditetapkan sebagai Caleg.
Praktik- praktik kolusi dan nepotisme akan merajalela dalam partai politik. Sementara rakyat hanya dijadikan sebagai objek politik untuk mendulang suara, sedangkan calonnya ditentukan partai politik,”papar Wijiati yang selama ini berprofesi sebagai Ketua Lembaga Anti Narkoba (LAN) di Provinsi Papua Barat.
Caleg yang terpilih bukan bertanggung jawab terhadap rakyat tetapi bertanggung jawab terhadap partai Politik. Seharunya, kita kembali kepada konsepsi dasar bahwa Partai Politik hanya men-CALON-kan bukan menentukan,”terangnya.
Karana itu, Kader Partai Demokrat ini ini berharap pemerintah pusat melalui Mahkamah Konstitusi untuk dapat mempertimbangkan secara matang dan menetapkan sistem yang terbaik dalam pemilu 2024 mendatang,”harap Atik.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, gugatan sistem pemilu menggunakan proporsional tertutup diajukan oleh salah satu Pengurus Partai PDIP, Demas Brian Wicaksono dan kawan – kawan pada November 2022 lalu terkait UU nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu pasal 169 ayat 2 tentang sistem pemilihan anggota legislatif dengan sistem proporsional terbuka.
Demas menilai dalam sistem proporsional terbuka banyak mengorbankan kader partai yang loyal dan berpengalaman ketimbang mereka yang memiliki modal, dan popularitas. Di samping itu, dalam sistem proporsional terbuka juga akan menciptakan iklim politik yang tidak sehat dalam tubuh partai politik karena para kader akan saling sikut demi mendapatkan suara terbanyak.
Saat ini Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) baru merampungkan kesimpulan gugatan para pihak pada 31 Mei 2023 Kemarin. Hingga kini, masih menunggu keputusan hakim konstitusi terkait hasil gugatan Demas Brian Wicaksono dan kawan – kawan. (rls).