Teluk Bintuni, doberainews – PT Subitu didirikan pada tahun 2015 oleh LNG Tangguh sebagai bagian dari program Corporate Social Responsibility kepada masyarakat Teluk Bintuni.
Menjadi bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat asli di kawasan Teluk Bintuni, PT Subitu kemudian mendirikan beberapa anak perusahaan, yakni; PT Karya Busana, PT Subitu Inti Konsultan, PT Subitu Karya Teknik, PT Subitu Transmaritim, dan Subitu Mart.
Namun, yang mengherankan dari perusahaan ini, dalam kurun waktu sembilan tahun, masyarakat Teluk Bintuni tidak mengetahui struktur organisasi maupun kelembagaan perusahaan-perusahaan tersebut, padahal operasional maupun investasinya menggunakan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas.
Hal ini disampaikan oleh Yohanes Akwan, SH., Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Sisar Matiti dalam keterangan persnya pada Senin (22/04/2024).
“Kemisteriusan PT Subitu ini sebenarnya sudah lama dipertanyakan oleh masyarakat. Ini saya juga temukan ketika sedang mengumpulkan data tentang LNG Tangguh. Makanya kami pertanyakan, ini perusahaan kedudukannya di mana? Siapa direksinya? Transparansinya bagaimana? Keuntungannya lari ke mana? Kenapa menggunakan DBH? Padahal program CSR itu kan tanggung jawab dari LNG Tangguh, kok ambil porsi masyarakat? Kan aneh” ungkap Akwan terheran-heran.
Akwan mencurigai, misteriusnya operasi dari PT Subitu dan anak perusahaannya, sebagai upaya “baku tipu” untuk menutupi sesuatu.
“terlalu nyata kita lihat bagaimana pendirian perusahaan ini cuma untuk terlihat gagah saja, contohnya PT Subitu Transmaritim. Ada tiga kapal yang terparkir di Tahiti dan tidak beroperasi, padahal pembelian kapal menggunakan DBH. Harusnya ini kapal kan dioperasikan untuk kepentingan transportasi laut untuk masyarakat luas,” lanjut Akwan.
Ada dugaan kesenjangan sosial yang signifikan dan dugaan penipuan publik. Oleh karena itu, audit menyeluruh perlu dilakukan untuk memastikan keterbukaan informasi dan menghindari praktik-praktik yang merugikan masyarakat.
“Program CSR LNG Tangguh, harus tetap berkomitmen pada tujuan awalnya: pemberdayaan masyarakat asli. Keterbukaan dan akuntabilitas dalam pengelolaan program ini menjadi kunci untuk memastikan keberlanjutan dan manfaat yang sebenarnya bagi masyarakat setempat. Stop baku tipu dengan masyarakat,” pungkas Akwan. (rls)