Era FUCA, Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Pembinaan WBP Dalam Lembaga Pemasyarakatan

Era FUCA, Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Pembinaan WBP Dalam Lembaga Pemasyarakatan

Helena Morin

Artikel ini ditulis oleh Helena Morin, Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan Tangerang, Banten

Tangerang, doberainews – Akhir  akhir ini publik dihebohkan dengan berbagai masalah yang kerap terjadi dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia. Baik masalah yang terjadi antara sesama warga binaan, konflik dengan petugas Lapas, hingga pelarian warga binaan dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya masalah – masalah tersebut. Antara lain kondisi Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity atau sebuah tatanan yang menyebabkan terjadinya berbagai kompleksitas masalah dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Tatanan tersebut disingkat Era FUCA, adalah satu istilah yang digunakan untuk mengambarkan berbagai kondisi pembinaan warga binaan pemasyarakatan (WBP) dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia. Era FUCA ialah singkatan dari kata Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity.

Volatility adalah sesuatu yang tidak stabil atau keadaan yang selalu berubah. Kata ini merujuk pada kondisi penanganan warga binaan yang selalu mengalami perubahan secara signifikan dari waktu ke waktu baik orang (Narapidana), pemikirannya, perilaku dan tindakan.

Dengan keberadaan yang berubah – ubah tersebut, WBP memiliki potensi besar untuk mengancam keamanan dan ketertibaan Lapas. Potensi tersebut dapat dipengaruhi dari transfer knowledge yang buruk antara narapidana (prisonisasi), terutama warga binaan yang mempunyai resiko tinggi terhadap pelarian ataupun membuat kericuhan dalam Lapas.

Seorang pemimpin dan petugas pemasyarakatan harus jeli dalam menangangi masalah yang terjadi dalam Lapas karena WBP memiliki tingkat stress yang tinggi ketimbang masyarakat yang hidup di luar Lapas. Oleh sebab itu seorang pemimpin Lapas harus pekah melihat aspek perubahan sehingga para petugas mempunyai deteksi dini melalui tindakan preventif kepada warga binaan.

Sementara Uncertainty adalah ketidakpastian. Uncertainly menjadi salah satu potensi  ancaman dalam menangani warga binaan pemasyarakatan. Ketidakpastian ini acapkali terjadi karena kurangnya informasi dan koordinasi antar sesama petugas Lapas. Koordinasi merupakan salah satu bentuk transfer informasi dalam melaksanakan tugas baik piket jaga maupun staf dan atau petugas lainnya sehingga tidak menyabkan miskomunikasi.

Disisi lain, faktor ketidakpastian juga dapat dilihat dari kurangnya keterbukaan/transparan dalam pemenuhan hak-hak WBP, kurangnya pemahaman WBP dalam menerima informasi yang seharusnya diterima dari keluarga ataupun dari petugas. Ketidakpastian ini tentunya menciptakan masalah dalam pemenuhan hak – hak bagi warga binaan, kurangnya informasi membuat petugas tidak bisa menjalankan tugas dengan baik, kurangya informasi antara sesama pegawai dapat menciptakan peluang bagi WBP untuk melakukan tindakan yang mengganggu keamanan dan ketertibaan seperti pelarian, perkelahian atau kerusuhan.

Selanjutnya adalah Complexity. Complexity merupakan variabel yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya sebab masalah dalam lapas sangat banyak dan saling berkaitan erat.

Complexitas dalam Lapas merupakan variable yang saling berhubungan satu dengan variabel lainnya seperti masalah kesehatan, pelayanan, managen keamanan, pembinaan, kekerasan fisik dan psikis, gratifikasi atau pungli, peredaran narkoba, serta kurangnya integritas petugas.

Salah satu contoh masalah complexitas yaitu pelarian yang memiliki hubungan yang berkaitan dengan masalah lainnya. Misalnya Pelarian terjadi karena kurangnya fasilitas seperti CCTV rusak atau belum memiliki CCTV untuk digunakan dalam membantu petugas dalam memantau pergerakan WBP setiap waktu.

Masalah lainnya yaitu jumlah petugas yang sedikit dibandingkan dengan jumlah Narapidana. Petugas kurang jeli dalam melaksanakan tugas pengamanan dengan baik seperti kurangnya pengawasan atau control dalam blok, melakukan pembiaran kepada narapidana yang berdampak pada terjadinya hal – hal buruk.

Disisi lain, kondisi psikis warga binaan yang stress dengan lingkungan Lapas karena adanya pembatasan hak bebas dari warga binaan dan kurangnya pembinaan kemandirian karena fasilitas yang terbatas. Kurangnya pembinaan kepribadian yang terkait dengan kerohanian dan bimbingan konseling, kurangnya layanan dan fasilitas Kesehatan, makanan dan keterbatasan dalam melakukan berbagai hal, terutama dalam komunikasi dan pertemuan dengan keluarga atau orang terdekat dalam Lapas menjadi faktor – faktor yang menyebabkan tidak kondusifnya lingkungan Lapas.

Sedangkan Ambiguity adalah sesuatu yang membingungkan atau menyesatkan yang berdampak pada pengambilan keputusan dalam organisasi. Ambiguitas juga acap kali terjadi saat pengambilan keputusan dari atasan dan juga perintah kepada bawahan terutama, jika perintah atasan salah atau tidak sesuai dengan aturan namun tetap dikerjakan.

Contoh Ambiguitas yang sering terjadi yaitu seorang narapidana memiliki hubungan emosional dengan petugas Lapas akan berdampak pada pengambilan keputusan. Melalui hubungan tersebut, Narapidana yang bersangkutan lebih leluasa, mendapat akses masuk keluar tahanan atau mendapat perhatian lebih ketimbang narapidana lainnya.

Ambiguitas juga kadangkala terjadi saat pemberian gratifikasi yang dilakukan kepada petugas sebagai tanda terimakasih. Sering juga pungli yang dilakukan petugas kepada warga binaan untuk dapat memenuhi kebutuhan narapidana yang tidak sesuai dengan aturan Lapas. Tak hanya itu, petugas juga melakukan pungli kepada narapidana dengan berbagai cara, salah satunya yaitu terkait dengan kepengurusan hak-hak dari WBP yang harus dibayar sehingga segala kepengurusan dapat berjalan dengan lancar dan cepat.

Ambiguitas ini terjadi dalam penerapan aturan dalam Lapas yang berdampak pada pengambilan keputusan. Kadangkala narapidana yang berasal dari kalangan masyarakat kelas menengah ke atas memanfaatkan kelemahan petugas dengan menyogok untuk mendapatkan gratifikasi berupa pelayanan, akses masuk keluar Lapas hingga layanan lainya yang disediakan. Sementara Narapidana yang berasal dari kalangan masyarakat kelas bawa hanya pasrah menerima aturan dan menjalaninya tanpa memprotes ketidakadilan yang terjadi.

Kondisi Ambiguitas ini juga yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya berbagai macam masalah – masalah di dalam tata kelola lembaga pemasyarakatan di Indonesia. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *