Buku Cerita Anak Sampari, Si Cenderawasih Ajak Pembaca Lindungi Ekosistem Hutan di Tanah Papua

Cerita Anak Sampari, Si Cenderawasih Ajak Pembaca Lindungi Ekosistem Hutan di Tanah Papua

Peluncuran Buku Cerita Anak Sampari si Cenderawasih: Masa Panen dan Peri Matoa

Jakarta, doberainews – Dalam upaya mengkampanyekan perlindungan hutan Papua sebagai habitat burung cenderawasih, Michael Jakarimilena dan Floranesia Lantang, meluncurkan buku cerita anak Sampari si Cenderawasih: Masa Panen dan Peri Matoa. Buku cerita anak ini merupakan seri kedua setelah buku yang pertama Sampari: Si Cenderawasih sukses diluncurkan pada 2022.

“Buku cerita untuk anak ini hadir dari bentuk keprihatinan dan kepedulian kami yang mendalam akan ancaman punahnya burung cenderawasih di Tanah Papua,” jelas Michael saat acara peluncuran buku di Auditorium Gedung Perpustakaan Nasional
Jakarta.

Flora menambahkan, upaya untuk mengedukasi tentang pentingnya hutan Papua dan uniknya satwa endemik yang ada di dalamnya bisa dilakukan dengan cara menarik dan kreatif, seperti buku cerita bergambar dengan ilustrasi yang indah.

“Tanah Papua kaya akan keanekaragaman hayati dengan pesona alam luar biasa. Jadi
menyampaikan cerita tentang Papua pun ingin kami lakukan dengan sangat indah dan menyenangkan,” lanjut Flora.

Buku cerita anak Sampari seri kedua ini merupakan kolaborasi antara Michael, Florensia, dan Yayasan EcoNusa.

CEO Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar, mengatakan diperlukan sinergi dari banyak pihak dalam menjaga habitat cenderawasih. Kolaborasi dengan para seniman Papua merupakan inisiatif yang penting dilakukan
secara terus-menerus. Ide kreatif dan menarik perlu dihadirkan melalui cerita bergambar yang dekat dengan kehidupan pembaca agar bertumbuh kesadaran merawat habitat.

Selain mengisahkan tentang perjalanan sang cenderawasih bernama Sampari, buku
Sampari si Cenderawasih: Masa Panen dan Peri Matoa juga mengisahkan tentang peri
hutan bernama Momotoa yang merupakan maskot Yayasan EcoNusa. “Momotoa” merupakan peri hutan yang menjaga habitat burung cendrawasih dan memastikan
masyarakat yang hidup bergantung pada hasil hutan tetap sejahtera,” tutur Bustar.

Cenderawasih adalah salah satu keluarga burung yang dilindungi dan menjadi identitas budaya masyarakat adat di Tanah Papua. Keberadaan cendrawasih merupakan salah satu barometer kondisi hutan, karena burung tersebut hanya mau hidup di hutan yang masih lebat dan terjaga. Dari generasi ke generasi, masyarakat di Tanah Papua memiliki beragam tradisi untuk menjaga hutan mereka.

Sayangnya, saat ini cenderawasih terancam punah akibat rusaknya hutan, perburuan liar, dan perkembangbiakan yang lambat. Menurut Michael dan Flora, perlu
kesadaran publik tentang pentingnya menjaga hutan sebagai habitat cenderawasih, buku Sampari adalah salah satu upaya yang mereka lakukan.

“Kami siap bekerja sama dengan siapapun memberikan edukasi tentang kelestarian hutan dan pelestarian burung cendrawasih melalui buku cerita bergambar di seri-seri berikutnya. Mari bergandeng tangan,” tutup Michael dan Flora menutup acara diskusi
peluncuran buku. Harapannya, pembaca terlibat secara emosi dan tergerak untuk bersama-sama mengambil peran menjaga habitat Tanah Papua.

Buku cerita Sampari Si Cenderawasih seri ke-2 kali ini memperkenalkan karakter satwa endemik Papua yaitu kanguru pohon bernama Dingiso yang dianggap sebagai binatang sakral oleh suku Moni, sebagai titisan roh para leluhur. “New Guinea Singing Dog” yang disebut sebagai anjing bernyanyi Papua, serta karakter peri matoa bernama Momotoa, dan Nimrod salah satu sahabat manusia Sampari dan
kawanannya. Nuansa budaya yang diangkat adalah karakter budaya dari pegunungan Papua serta kearifan lokal masyarakat. (rls)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *