Artikel ini ditulis oleh Terry Urick Orisu, Taruna Utama Politeknik Ilmu Pemasyarakatan Banten.
Banten, doberainews – Dewasa ini maraknya pelanggaran hukum terus meningkat di Indonesia. Berbagai pengaruh telah berdampak luas terhadap dinamika sosial kemasyarakatan hingga berdampak pada permasalah pidana di masyarakat.
Parahnya lagi, berbagai persoalan pelanggaran hukum yang kerap terjadi bukan saja dilakukan oleh orang dewasa, melainkan dilakukan pula oleh anak – anak dibawa umur. Data yang dirilis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tanggal 1 Juni 2022 lalu menyebutkan bahwa pengaduan 5.953 kasus pelanggaran hak anak pada 2021. Jumlah itu mengalami penurunan 8,68% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 6.519 kasus.
Sementara, data yang dirilis resmi oleh KemenPPA pada tanggal 1 Januari 2023 menyebutkan bahwa sebanyak 8574 Kasus kekerasan terhadap anak, 1064 merupakan kasus kekerasan terhadap anak laki- laki dan 7684 kasus terjadi kepada anak perempuan.
Jumlah semakin mengkhawatirkan pihak terutama para stakeholder untuk mencari solusi terbaik dalam mengentaskan berbagai permasalah hukum dan kekerasan terhadap anak termasuk kasus – kasus pidana anak yang kerap terjadi di masyarakat.
Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan dan terobosan dengan membentuk badan dan lembaga tersebut untuk menangani permasalahan kekerasan terhadap anak. Mulai dari dibentuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sebagai salah satu upaya Negera dalam mengatasi berbagai kasus kerasan terhadap anak dan perempuan.
Tak hanya itu, pemerintah juga berupaya mencari solusi terbaik dengan mengeluarkan berbagai kebijakan dan UU dalam mengentaskan berbagai kasus kekerasan terhadap anak dan pidana anak di Indonesia termasuk menerapkan kebijakan diversi sebagai salah satu upaya hukum alternatif dalam menyelesaikan pidana anak.
Anak yang dinyatakan sebagai pelaku dalam perubahan Undang-Undang Nomor 3 Undang-Undang Pengadilan Anak Tahun 1997 menjadi Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyatakan bahwa anak yang memiliki konflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak berusia 12 (dua belas) tahun tetapi belum genap 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Pemerintah berniat mengubah Undang-Undang Sistem Peradilan Anak Nomor 11 tahun 2012 sebagai upaya untuk lebih membela hak-hak berdasarkan hukum bahkan dengan anak-anak sebagai pelakunya. Setiap kasus pidana anak yang masuk ke dalam sistem peradilan pidana harus sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu Nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, hidup dan berkembang, serta penghormatan terhadap pandangan anak dengan menerapkan sistem diversi sebagai salah satu alternatif dalam menyelesaikan pidana anak.
Diversi, berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana. Pelaksanaan upaya diversi wajib disetiap tingkat pemeriksaan dan dilakukan dengan cara musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan Keadilan Restoratif.
Tentunya diversi ini memiliki kekurangan dan kelebihan masing masing yang perlu dianalisis lebih dalam. Penulis menggunakan metode analisis Streinght, Weakness, Opportunity and Threats (SWOT). Dalam metode analisis SWOT, melihat keunggulan dan kelemahan dari suatu kebijakan, serta peluang dan hambatan dari sebuah kebijakan.
Analisis SWOT melihat diversi peradilan anak tidak hanya untuk mencari sanksi pidana terhadap anak yang melakukan kejahatan, tetapi lebih menitikberatkan pada anggapan bahwa penuntutan saksi merupakan sarana untuk membantu kegiatan peradilan pidana. kesejahteraan anak yang melakukan kejahatan terhadap mereka.
Contohnya, ada beberapa kasus pidana anak belakangan ini, dan berdampak pada hukuman Pidana terhadap anak. Salah satunya kasus pembunuhan berencana terhadap anak di bawah umur yang terjadi di Kabupaten Langkat dan kemudian disahkan dengan hukuman penjara 10 tahun. Kasus-kasus ini dapat menggambarkan bahwa banyak anak terus bermasalah dengan hukum dan dituntut.
Sayangnya, dalam mekanisme itu, anak seusia dini, harus dipaksakan untuk menyaksikan proses persidangan pidana yang panjang dan menegangkan, mulai dari penyidikan polisi, dakwaan kejaksaan, persidangan umum oleh pengadilan, hingga eksekusi atas tindakan hakim. Berbagai tahapan persidangan ini tentuk akan berdampak pada psikis dan tekanan psikologis anak dalam dakwaan peradilan.
Karena itu, pelaksanaan pedoman Diversi tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menghindari dampak negatif psikologis dan perkembangan anak dari keikutsertaan dalam sistem peradilan pidana. Dalam penyelesaian perkara anak yang melanggar hukum harus diutamakan cara-cara keluarga, antara lain melalui prioritas Sistem Peradilan Anak, selanjutnya Sistem Pidana, UU Nomor 11 Tahun 2012, Pasal 1, angka 7 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak melalui diversi sebagai upaya penyelesaian perkara anak dari peradilan pidana menjadi di luar peradilan pidana.
Namun, ada beberapa kelemahan yang mesti diakui dari sistem Dibersi. Dalam analisis weakness dapat dilihat bahwa diversi memiliki kekurangan, yaitu Bila kesepakatan diversi tidak tercapai kesepakatan maka proses peradilan pidana anak berujung dilanjutkan ke pidana umum. Hal ini sesuai dengan Pasal 13 UU Nomor 11 Tahun 2012, dimana dalam menangani perkara pidana anak, para penegak hukum yang terlibat dalam proses peradilan wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara. Sistem peradilan pidana tersebut mulai dari penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri.
Sementara, dalam analisis Opportunity memperlihatkan bahwa Diversi secara tegas disebut dalam Pasal 5 ayat (3) UU SPPA bahwa dalam sistem peradilan pidana anak wajib di upayakan Diversi. Pasal 8 ayat (1) UU SPPA juga telah mengatur bahwa proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja professional berdasarkan pendekatan restroaktif justive.
Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan hukum negara, pelaksanaannya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang tuanya. Diversi tidak bertujuan mengabaikan hukum dan keadilan sama sekali, akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk membuat orang mentaati hukum.
Sedangkan dalam analisis threat, ada hambatan lalu lintas, yaitu tidak memiliki dasar umum untuk orientasi tidak ada kesepakatan antara para pihak. Misalnya, Kesepakatan tersebut tidak terjadi karena korban meminta sejumlah uang yang besar dari pelaku, namun pelaku tidak dapat menyetujui jumlah uang tersebut, pelaku sendiri menawarkan untuk membayar sejumlah kerugian yang diderita oleh korban, karena pelaku tergolong keluarga sederhana, sehingga pelaku tentu saja tidak mampu membayar uang yang sangat besar. Ssmentara korban sendiri menolak tawaran tersebut dengan alasan jika tidak mau membayar sesuai dengan permintaan korban maka kasus akan dilanjutkan ke tahap persidangan.
Dalam proses sirkular ini, tidak ada kesepakatan yang dicapai antara para pihak. Dan mau tidak mau kasus tersebut akan berlanjut ke tahap persidangan. Oleh karena kendala tersebut baik hakim pengadilan anak maupun Pengadilan Negeri tidak berusaha mengatasi kendala tersebut, sehingga apabila upaya terakhir tidak berhasil maka perkara tersebut akan segera dibawa ke pengadilan.
Walaupun demikian, Diversi dalam SPPA sebagai salah satu langkah solutif dalam mengedepankan kewajiban untuk memberikan keadilan restoratif. Keadilan restoratif merupakan upaya untuk mendudukkan semua pihak baik korban, pelaku maupun keluarganya untuk mencari solusi alternatif dalam upaya menyelesaikan masalah hukum. Pengecualian untuk beberapa kasus pidana ringan (Tipiring), akan berbeda dengan kasus pidana berat seperti pemerkosaan maupun pembunuhan yang sengaja dilakukan oleh anak.
Kebijakan diversi dalam Sistem Peradilan Pidana anak membedakan penanganan anak yang melanggar hukum dengan pidana umum yang dilakukan oleh dewasa. Hal ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa mental dan fisik anak belum optimal, sehingga kemampuan mereka dalam bertindak dan bertanggung jawab juga tidak sama dengan orang dewasa.